DEPOK – Jepang dikenal sebagai negara super canggih yang dilengkapi segala fasilitas dan transportasi penunjang yang super modern. Jepang pun tak pernah mati dalam hal perkembangan teknologi.
Itu pula yang membuat warga Depok Timur, Hariyadi Budi tertarik dengan Jepang. Selain karena ingin menyelesaikan studi doktor di Sendai, Hariyadi pun mencurahkan seluruh tenaga, pikiran, dan kasih sayangnya untuk anak–anak sekolah dasar (SD) di Jepang dengan mengajar di sebuah sekolah di bibir pantai di kawasan Miyagi.
Sejak 2003, Hariyadi sudah berada di Jepang. Tak puas dengan gelar Doktor kajian Jepang yang didapatkannya di Universitas Indonesia (UI), dia pun memutuskan untuk mengambil studi di Universitas Tohuku Jepang dengan program studi Human Science.
Hariyadi menuturkan, gempa sudah menjadi pengalaman biasa bagi warga Jepang. Namun sesuatu yang luar biasa dahsyat menimpa penduduk negeri Sakura pada Jumat kelabu, 11 Maret 2011. Siang hari, pukul 14.00 waktu Jepang, Hariyadi sempat dihubungi kawannya, Nanto, warga Indonesia, yang bekerja sebagai nelayan di pantai kawasan Miyagi, tepatnya di pelabuhan Siogama. Sosok Hariyadi yang low profile, membuatnya benyak memiliki teman nelayan karena tak segan langsung terjun ke dalam kehidupan masyarakat kelas menengah bawah.
“Gempa dan tsunami saat itu datang sekitar pukul 14.47, tapi jam 14.00 saya ditelepon Nanto bahwa ia punya oleh–oleh ikan yang enak untuk saya. Akhirnya saya memutuskan pergi menuju laut dengan mobil, tanpa ada bayangan akan terjadi bencana besar,” tuturnya saat berbincang dengan wartawan di kampus UI, Depok, baru-baru ini.
Selama di Jepang, Hariyadi tinggal di sebuah apartemen bersama anaknya, Tian (16). Sementara istrinya, Tanti, tinggal di Eropa untuk menyelesaikan studi. Hariyadi pun ke laut untuk menemui Nanto, dan meninggalkan Tian di apartemennya. Di tengah perjalanan menuju laut, tiba–tiba mobilnya terguncang hebat saat melewati jembatan di atas sebuah aliran sungai. Dia tak mampu mengendalikan mobilnya yang terpelanting ke sana dan kemari. Hariyadi khwatir, jembatan tersebut akan retak dan terbelah hingga mobilnya terjeblos ke dasar sungai.
“Braaak. Betul–betul gempa terdahsyat yang pernah saya rasakan selama tinggal di Jepang. Saya berusaha fokus agar segera sampai di ujung jembatan," imbuhnya.
Pria kelahiran Solo, 2 Februari 1965 itu menjelaskan, telepon seluler (ponsel) di Jepang sudah dilengkapi early warning system. Hanya dua detik sebelum gempa terjadi, ponsel berbunyi sangat keras memberi peringatan akan datangnya gempa. Gempa 11 Maret lalu berlangsung 10 hingga 15 menit.
Saat sampai di ujung jembatan, Hariyadi pun turun dari mobil sambil mendengarkan siaran radio di mobilnya. Apa yang dikhawatirkannya ternyata betul, peringatan bahaya tsunami akan menggulung Jepang hanya dalam waktu 15 menit setelah gempa, dan meminta masyarakat untuk lari ke atas bukit.
“Saya panik, dan langsung memotong jalan ke arah bukit, karena kalau saya lewat jalan negara, pada saat kejadian justru itu menjadi kali karena tsunami. Saya lari terus tanpa pikir panjang. Saat melihat ke belakang, terdapat garis yang membelah antara langit dan daratan berwarna hitam pekat dan bukan kabut. Saya sadar, itulah gelombang tsunami yang siap menerkam kami,” ujarnya dengan mata berkaca–kaca.
Saat lolos dari terjangan tsunami, Hariyadi pun mengungsi ke atas bukit bersama warga lainnya. Tak banyak yang bisa dilakukan mereka pada tahap awal bencana. Terlebih lagi, Jepang tengah dilanda musim dingin dengan salju tebal. Tempat tinggal Hariyadi di Sendai, Jepang memang menjadi kawasan terparah yang porak–poranda diterjang gempa dan tsunami.
Rasa takut akan gempa dan tsunami susulan, hingga kedinginan dan kelaparan tentu dirasakan oleh Hariyadi dan sejumlah pengungsi. Sedikitnya hanya tiga benda yang dibawa Hariyadi, yakni syal, tas pinggang, dan paspor.
“Saya tak bawa uang, tidak punya uang sama sekali. Mana ada ATM yang buka? Lstrik, air, telepon, dan sinyal semua tidak berfungsi, betul–betul mencekam. Untungnya saya sempat ke apartemen mencari anak saya, Tian, dia berhasil menyelamatkan diri keluar dari apartemen. Setelah menemukan paspor, kami lalu menuju bukit,” tuturnya kepada wartawan di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, baru-baru ini.
Saat di atas bukit, kata Hariyadi, tak ada selimut ataupun makanan untuk para pengungsi. Salah satu temannya memiliki sisa makanan berupa ikan laut yang diberikan oleh nelayan. Tetapi umur ikan tersebut, sudah lebih dari satu bulan.
“Bisa bayangkan kami makan ikan yang sudah sisa sejak satu bulan lalu. Tak ada panci untuk merebus atau memasak makanan. Kami hanya membuat api dan membakar ikan untuk bertahan hidup,” imbuh pria yang menyelesaikan program S1 di Universitas Gajah Mada (UGM) itu.
Tak lama, tim penyelamat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) pun tiba dan mengevakuasi WNI untuk kembali ke tanah air. Namun penderitaan Hariyadi bertahan hingga tiga hari di atas bukit akan selalu terkenang sebagai memori hingga akhir hayatnya.
“Tiga hari tanpa makanan yang layak, sampai di bandara Tangerang pun saya tak punya uang. Untungnya ditolong oleh rekan–rekan media yang peduli, benar–benar tragis,” kata Hariyadi. (rfa)(rhs)