Ulat bulu bikin cemas. Mereka berbiak begitu cepat. Semula bisa dihitung jari, lalu jadi ratusan, ribuan dan bahkan jutaan. Dalam dua hari saja, puluhan ribu ulat berbiak di tujuh kabupaten di seantero Bali. Rombongan ulat ini merambat pohon. Menempel di dedaunan. Pulau itu sudah wabah ulat bulu. Warga cemas. Pemerintah bergegas.
Semenjak Rabu, 13 April 2011, pemerintah propinsi menetapkan seluruh Bali sebagai daerah waspada ulat bulu. “Wabah ulat bulu di Bali berstatus ancaman,” kata Kepala Dinas Pertanian, Tanaman dan Pangan Provinsi Bali, Made Putra Suryawan.
Walau untuk sementara ulat bulu itu masih sporadis, kata Suryawan, bukan tak mungkin akan massif di seluruh wilayah. Itu sebabnya pemerintah sudah menyebar surat panduan. Warga diminta tidak membunuh hewan pemakan ulat. Seperti semut rangrang dan burung cerukcuk.
Ulat bulu itu tidak hanya mencemaskan Bali, tapi juga sejumlah provinsi di Indonesia. Wabah ini muncul pertama kali di Probolinggo. Tanggal 30 Maret 2011, tujuh desa di situ diserbu ulat bulu. Diperkirakan jutaan ulat bulu itu bergelantungan di pepohonan. Menempel di dinding sekolah. Warga takut ulat bulu itu masuk rumah.
Sejumlah warga sudah terserang penyakit gatal-gatal. Itu sebabnya warga dan pemerintah ramai-ramai melakukan pengasapan dan menyemprot dengan pestisida. Repotnya tidak semua ulat lumpuh dengan dua cara itu.
Warga dan pemerintah lalu menambah cara lain. Ratusan dahan pohon yang sudah dihinggapi ribuan ulat bulu terpaksa dipangkas.
Sesudah di Probolinggo itu, populasi ulat bulu di kabupaten lain juga meledak seperti di kabupaten lain di Jawa Timur. Beberapa hari berselang jumlah ulat di Bali dan Nusa Tenggara Barat kian banyak. Dari Medan juga dilaporkan bahwa ribuan ulat bulu ramai hinggap di dedaunan.
Populasi ulat bulu di Ibukota Jakarta juga meledak dengan cepat. Terlihat semenjak akhir pekan lalu, ribuan kawanan ulat itu hinggap di pepohonan di Tanjung Duren, Grogol Jakarta Barat. Warga menghadang dengan metode pengasapan. Juga mengunakan cairan insektisida.
Sayang, cara itu kurang manjur. Hingga Rabu 13 April 2011, ribuan ulat bulu masih bergelayut di dahan dan dedaunan Cemara di wilayah itu. Jumlahnya memang berkurang jika dibanding dengan sebelum disemprot. Warga diminta tenang. Tidak panik. Sebab ulat itu tidak berbahaya.
Pemerintah meminta warga agar memberi kabar jika ulat bulu itu masih menyerbu pepohonan. “Kami akan menangganinya dengan baik,” janji Kepala Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Barat, Bambang Wisanggeni.
Agar kordinasi mudah. Bambang menyebarkan nomer telepon yang sesewaktu bisa dihubungi jika ulat bulu menyerbu pohon di halaman. Nomor 0821-11283676 dan 021-58356239.
Di ibukota, sejauh ini ulat bulu itu memang baru menyerbu wilayah di Jakarta Barat, tapi pemerintah sejumlah wilayah lain sudah bersiaga. Siaga itu memang penting sebab meski tidak berbahaya, ulat bulu bisa bikin gatal.
Terparah Sepanjang Sejarah
Bukan pertama kali terjadi. Wabah terjadi saban tahun. Sudah musiman. Sejumlah desa di Probolinggo, misalnya, sudah jadi langganan ulat yang bikin gatal ini. Hanya saja, menurut catatan pemerintah Jawa Timur, populasi ulat bulu kali ini terbesar sepanjang sejarah.
Di sejumlah daerah --yang kini ramai diberitakan soal wabah ulat ini-- saban tahun juga begitu. Diserang ulat bulu. Rata-rata serangan kali ini memang terhitung paling parah. Rusdiyanto, seorang warga di Tanjung Duren Jakarta Barat menuturkan bahwa kasus seperti ini terjadi setiap tahun. “Cuma biasanya akan hilang dengan sendirinya.”
Ulat bulu itu berbiak dengan cepat karena ada sebabnya. Menurut Bambang Wisanggeni, jumlah ulat kian banyak lantaran perubahan iklim. Iklim yang belakangan cenderung lembab menyebabkan menurunnya populasi burung cerukcuk dan semut cangkrang. Padahal, lanjut Alumni Universita Jenderal Soedirman Purwokerto itu, dua jenis hewan itu adalah pemakan ulat bulu.
Karena jumlah predator ulat bulu ini berkurang drastis maka jumlah mereka berbiak dengan cepat. “Berkurangnya jumlah burung dan semut cangkrang, menyebabkan rantai makanan tidak normal lagi,” kata Bambang.
Lantaran perubahan itu, perlu penelitian yang mendalam soal jenis ulat bulu ini, dan juga cara efektif dalam menaklukannya. Itu sebabnya sejumlah sampel ulat bulu itu dibawa ke Institut Pertanian Bogor untuk diteliti.
Rektor Institut Teknologi Sepuluh November, Priyo Suprobo, mendesak pemerintah membentuk tim khusus guna mengatasi wabah ulat bulu ini. Tim ini bekerja mengambil sampel di lapangan, lalu menelitinya di laboratorium.
Dalam kajian ITS, kata Priyo, wabah ulat bulu ini terjadi lantaran berkurangnya pepohonan dan sumber makanan utama bagi ulat. Dia menganjurkan agar warga menanam pohon di sekitar rumah. ITS sendiri sudah menanam ratusan pohon akar tunjang di lahan seluas 20 hektar.
Kampus ini juga melepaskan ratusan burung kutilang dan peking. “Kalau banyak burung, maka nanyak ulat yang akan dimakan, “ kata Priyo.