Pasukan pemberontak Libya anti rezim Muammar Khadafi membuat kemajuan luar biasa pada Minggu, 21 Agustus 2011. Setelah enam bulan bertempur sengit melawan pasukan pemerintah, kaum pemberontak berhasil masuk ke Tripoli, ibukota Libya dan basis kekuatan Khadafi.
Kubu pemberontak juga mengaku telah menangkap para putra Khadafi. Stasiun berita BBC, menyebutkan mereka adalah Saif al-Islam dan Mohamed Khadafi. Mahkamah Kriminal Internasional di Belanda bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa mereka ingin mengadili Saif dan Khadafi atas kasus kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan kepada rakyat Libya.
Belakangan, klaim dari pemberontak mengenai penangkapan dua putra Khadafi itu ternyata belum bisa dipercaya. Saif masih melenggang bebas dan
mengklarifikasi kabar penangkapannya di depan para wartawan asing.
Sang kolonel Muammar Khadafi, yang sudah 42 tahun berkuasa di Libya itu, belum diketahui keberadaannya. Pimpinan pasukan pemberontak di bawah Dewan Transisi Nasional (NTC) belum bisa menyatakan telah menguasai Tripoli, apalagi sudah mengalahkan Khadafi.
Para pemberontak yang didukung pasukan koalisi internasional pimpinan NATO dengan sokongan AS dan Inggris itu kian yakin bahwa masa akhir Khadafi sebagai pemimpin Libya telah dekat. Sebagian petinggi pemberontak adalah mantan pejabat rezim Khadafi yang sudah muak dengan kepemimpinan dan kesewenang-wenangan dia.
"Tamatlah sudah si kribo," ujar para warga Tripoli yang turut bergembira menyambut kedatangan pasukan pemberontak di Lapangan Hijau pada Minggu malam waktu setempat, seperti yang diungkapkan kantor berita Associated Press (AP). Mereka tak lagi takut-takut mengibatkan bendera Libya versi pemberontak, yaitu perpaduan tiga warna. Bahkan ada yang berani membakar bendera resmi Libya warna hijau polos, seperti yang selama ini dikibarkan rezim Khadafi.
Seorang tentara pemberontak, Abdel-Hakim Shugafa, mengaku terperanjat atas mudahnya mereka masuk ke Tripoli. Dia mengaku hanya butuh baku tembak selama sekitar 20 menit sebelum akhirnya berhasil merangsek ke ibukota.
"Saya berharap Libya akan jadi lebih baik," ujar pria berusia 26 tahun itu kepada AP. "Dia [Khadafi] menindas segalanya di negeri ini, di sektor kesehatan dan pendidikan. Kini kami bisa membangun Libya," ujar Shugafa, yang bertugas menjaga keamanan di gedung Bank Nasional di dekat Lapangan Hijau.
Taktik pemberontak
Keberhasilan pasukan pemberontak ke Tripoli itu sekaligus memecahkan kebuntuan mereka selama bertempur enam bulan melawan pasukan Khadafi. Ini juga dipandang sebagai keberhasilan pasukan NATO dalam membantu manuver pemberontak dengan membom posisi-posisi militer pasukan Libya.
Saat pasukan pemberontak masih di luar kota, para simpatisan di Tripoli diam-diam sudah dipersenjatai untuk memberi perlawanan kepada pasukan Khadafi sekaligus mempersiapkan penyambutan. Maka, sebagian pasukan yang loyal kepada Khadafi pun terdesak.
Begitu pasukan pemberontak sudah berada di gerbang Tripoli, batalion khusus yang tadinya dipercaya Khadafi untuk mempertahankan kota akhirnya menyerah. Apalagi komandan batalion ini diam-diam juga bersimpati kepada pemberontak. Dia rupanya masih dendam dengan Khadafi, yang beberapa tahun lalu menghukum mati saudara kandungnya. Demikian ungkap seorang pejabat pemberontak, Fathi al-Baja, kepada AP.
Al-Baja sendiri adalah ketua komisi politik NTC, yang turut memimpin manuver pasukan pemberontak ke Tripoli dalam tiga bulan terakhir. Dia juga yang berkoordinasi dengan NATO serta agen-agen pemberontak di Tripoli.
Para agen berhasil membangun jaringan mengerahkan dukungan sekaligus menyebarkan senjata kepada para simpatisan. Pada 18-19 Agustus lalu, NATO mengerahkan jet-jet tempurnya untuk membombardir posisi strategis militer Khadafi di Tripoli. Baru sehari kemudian, 20 Agustus 2011, para agen dan jaringan simpatisan yang mereka bangun mulai bergerak dari Tripoli.
Bersamaan dengan itu, pada Minggu malam, pasukan pemberontak mulai masuk ke Tripoli. Pada Senin dini hari, mereka mengklaim sudah mengendalikan situasi di hampir semua ibukota Libya. Kepada stasiun berita BBC, juru bicara pemberontak mengakui belum bisa berhasil mengendalikan sepenuhnya situasi di Tripoli. "Pasukan pro Khadafi masih menguasai 15-20 persen Tripoli," ujar dia.
Namun, dikuasainya Lapangan Hijau adalah pencapaian signifikan bagi pemberontak. Lapangan di jantung Tripoli itu kerap menjadi titik kumpul para pendukung Khadafi dalam setiap aksi demonstrasi. Khadafi pun berkali-kali memberi pidato sekaligus mempertahankan semangat dari balkon di Benteng Merah, yang menghadap ke Lapangan Hijau.
Begitu menduduki hampir semua wilayah di Libya, pasukan pemberontak bersama simpatisan segera menempatkan sejumlah pos pemeriksaan sambil menyerang wilayah yang masih menjadi basis pendukung Khadafi.
Itulah sebabnya, menurut stasiun berita Al Jazeera, suara baku tembak senjata antara pasukan pemberontak dengan tentara yang masih loyal dengan rezim Muammar Khadafi terdengar di ibukota Libya, Tripoli, 22 Agustus 2011. Pertempuran kali ini berlangsung di dekat kompleks kediaman Khadafi di distrik Bab Azaziya.
Menurut koresponden Al Jazeera, baku tembak dimulai setelah tank-tank Khadafi keluar dari Bab Azaziya pada Senin pagi waktu setempat untuk menghadapi konvoi pemberontak. Para jurnalis asing pun terperangkap di Hotel Rixos.
Di mana Khadafi?
Sebelumnya, Khadafi menyatakan masih tetap bertahan. "Saya akan tinggal di Tripoli sampai akhir," kata Khadafi seperti dilansir TV NZ, 22 Agustus 2011. Pernyataan Khadafi itu disampaikan lewat fasilitas audio melalui televisi pemerintah.
Dalam kesempatan itu, Khadafi juga menyerukan kepada para pendukungnya di seluruh negeri agar membantu membebaskan Tripoli dari massa yang disebutnya sebagai pemberontak. Khadafi terus berupaya melawan pemberontak. Laporan terakhir, perlawanan itu telah menewaskan 367 orang dari kedua pihak.
Dalam pesan itu, Khadafi juga khawatir, "Tripoli akan terbakar." Khadafi juga berjanji memberikan senjata kepada para loyalisnya untuk menyerang pemberontak yang telah merangsek Tripoli.
Hal senada ditulis Al Arabiya News, yang melaporkan Khadafi menolak menyerahkan kekuasaannya. Bahkan, dalam pesan audio itu, Khadafi berjanji akan muncul dan mendeklarasikan kemenangan di Tripoli. "Keluarlah dari rumah, saya akan bersama kalian hingga penghabisan," seru Khadafi kepada para pendukungnya melalui sambungan telepon yang disiarkan stasiun televisi pemerintah Libya.
Bila benar masih berada di Tripoli, kepastian nasib Khadafi bisa diketahui dalam waktu hitungan jam, saat pasukannya kian terdesak oleh serangan pemberontak dan pasukan yang membelot. Namun, menurut BBC, muncul pula rumor bahwa Khadafi bisa jadi sudah kabur dari Libya.
Isu berembus bahwa dia kabur ke Afrika Selatan, yang selama ini melalui Uni Afrika memelopori upaya perdamaian mengatasi krisis di Libya. Namun pemerintah Afrika Selatan pada 22 Agustus 2011 membantah rumor bahwa mereka menyediakan pesawat membantu Khadafi kabur dari negaranya.
"Pemerintah Afrika Selatan ingin meluruskan sekaligus membantah rumor yang menyatakan telah menerbangkan pesawat ke Libya untuk membantu Kolonel Khadafi dan keluarganya ke lokasi tertentu," kata Menteri Luar Negeri Afrika Selatan, Maite Nkoana-Mashabane, seperti dikutip BBC.
Ada pula isu Khadafi dan keluarga kini sudah berada di dekat perbatasan Aljazair.
Reaksi Barat
Namun, terlepas dari teka-teki keberadaan dia, Khadafi kini tampak kesulitan mempertahankan rezimnya. Ini terlihat dengan mulai jatuhnya Tripoli ke tangan pemberontak.
Presiden AS, Barack Obama, juga mulai yakin akan kejatuhan rezim Khadafi. Dia menyatakan Libya sudah lepas dari cengkeraman seorang tiran sekaligus meminta Khadafi segera melepas jabatan supaya pertumpahan darah yang lebih besar bisa dicegah. "Masa depan Libya kini di tangan rakyat Libya," kata Obama dari tempat liburannya di Martha's Vineyard.
Perdana Menteri Inggris, David Cameron, juga sudah berkomentar mengenai Khadafi. "Rezimnya sudah berguguran dan kini mundur total," kata Cameron seperti dikutip The Independent. Cameron bahkan pulang dari liburan lebih cepat untuk berkoordinasi dengan para pejabatnya untuk antisipasi perkembangan selanjutnya di Libya.