Pasukan pemberontak anti rezim Muammar Khadafi beserta para simpatisan sudah berani meluapkan kegembiraan setelah berhasil menduduki Ibukota Tripoli dan menembus kompleks milik pemimpin Libya itu.
Masalahnya, selain masih harus memburu Khadafi dan keluarga, para pemberontak dukungan NATO itu harus siap menghadapi tantangan berikut: siapa yang bisa tampil memimpin Libya setelah era Khadafi?
Pertanyaan itu tidak mudah dijawab, mengingat Khadafi sudah 42 tahun berkuasa dan memberangus demokrasi yang seharusnya bisa menyiapkan generasi pemimpin baru. Kalangan pengamat mulai bertanya-tanya apakah pimpinan Dewan Transisi Nasional (NTC), yang memimpin pemberontakan dari Benghazi, sudah menyiapkan kepemimpinan baru Libya sekaligus mendamaikan dan memulihkan negeri mereka yang hancur akibat perang saudara selama enam bulan.
Pertanyaan itu tidak mudah dijawab, mengingat Khadafi sudah 42 tahun berkuasa dan memberangus demokrasi yang seharusnya bisa menyiapkan generasi pemimpin baru. Kalangan pengamat mulai bertanya-tanya apakah pimpinan Dewan Transisi Nasional (NTC), yang memimpin pemberontakan dari Benghazi, sudah menyiapkan kepemimpinan baru Libya sekaligus mendamaikan dan memulihkan negeri mereka yang hancur akibat perang saudara selama enam bulan.
Sejumlah Nama
Sebenarnya ada sejumlah tokoh yang menonjol dalam kepemimpinan NTC. Ironisnya, mereka yang menonjol ini justru pernah menjadi bagian dari rezim Khadafi, yang rata-rata mengaku sudah muak dengan kesewenang-wenangannya terhadap rakyat Libya..
Mereka pun kompak mundur dari kabinet saat pergolakan mulai memanas di Benghazi dan sekitarnya pada Maret 2011. Masalahnya, di kalangan pimpinan NTC belum ada suara yang solid mengenai langkah-langkah selanjutnya bila rezim Khadafi jatuh.
Berdiri pada 23 Maret 2011, NTC dibentuk sebagai pemersatu mereka yang sudah muak dengan kepemimpinan rezim Khadafi. Dewan ini beranggotakan 45 orang. Mereka terdiri dari sejumlah pejabat rezim Khadafi yang membelot, cendekiawan, para pembangkang dan tokoh-tokoh yang telah kembali dari pengasingan.
NTC berencana memperluas keanggotaan hingga seratus orang. Mereka juga ingin melibatkan para pakar dan birokrat yang membelot dari rezim Khadafi yang bisa membantu membangun kembali Libya selama masa transisi.
"Di antara serangkaian prioritas, yang paling penting adalah membangun kembali ekonomi. Produksi minyak telah berhenti dan keamanan sangat rawan," kata seorang diplomat Barat di Benghazi kepada Washington Post.
Berdiri pada 23 Maret 2011, NTC dibentuk sebagai pemersatu mereka yang sudah muak dengan kepemimpinan rezim Khadafi. Dewan ini beranggotakan 45 orang. Mereka terdiri dari sejumlah pejabat rezim Khadafi yang membelot, cendekiawan, para pembangkang dan tokoh-tokoh yang telah kembali dari pengasingan.
NTC berencana memperluas keanggotaan hingga seratus orang. Mereka juga ingin melibatkan para pakar dan birokrat yang membelot dari rezim Khadafi yang bisa membantu membangun kembali Libya selama masa transisi.
"Di antara serangkaian prioritas, yang paling penting adalah membangun kembali ekonomi. Produksi minyak telah berhenti dan keamanan sangat rawan," kata seorang diplomat Barat di Benghazi kepada Washington Post.
Beberapa tokoh pemberontak yang menonjol saat ini antara lain adalah Mahmoud Jibril. Dia adalah Ketua Badan Eksekutif NTC dan juga memimpin tim diplomasi kelompok itu. Jibril, menurut laman harian Politiken, pernah menjadi bagian dari rezim Khadafi ketika menjabat sebagai Ketua Badan Pembangunan Ekonomi Nasional (NEDB). Saat itu dia diserahi tugas mempromosikan kebijakan-kebijakan privatisasi dan liberalisasi Libya dari 2007 hingga awal 2011.
Saat Libya mulai bergolak dengan pemberontakan, Jibril pun membelot dari rezim Khadafi dan akhirnya dipercaya memimpin NTC. Dia juga berhasil bernegosiasi dengan sejumlah pemimpin Barat, diantaranya Presiden Nicolas Sarkozy dari Prancis dan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, untuk menggalang dukungan bagi NTC. Jibril pun mampu menggalang dukungan politik dari sejumlah negara Arab.
Saat jumpa pers di Qatar, 24 Agustus 2011, Jibril berharap Khadafi harus segera diadili bila ditangkap. Bagi dia, sudah banyak kejahatan yang diperbuat kolonel veteran itu kepada bangsa sendiri, dengan melancarkan pembunuhan politik, penahanan, dan hukuman mati bagi para oposan selama berkuasa.
"Kami akan memberi dia pengadilan yang adil. Namun saya tidak tahu bagaimana dia akan bisa membela diri dari berbagai tuduhan kejahatan yang dia lakukan atas rakyat Libya dan dunia," kata Jibril seperti dikutip CNN.
Selain Jibril, nama lain yang menonjol dalam tubuh NTC adalah Mustafa Abdul Jalil. Dia pun pernah menjadi bagian dari pemerintahan Khadafi, saat menjadi Menteri Kehakiman mulai dari 2007 hingga akhirnya membelot pada awal 2011.
Abdul Jalil dianggap punya pengaruh kuat dalam kepemimpinan NTC, yang berbasis di Benghazi, dengan mengklaim sebagai Ketua Dewan. Di sisi lain, masih ada pihak yang curiga dengan Abdul Jalil karena pernah bertahun-tahun menjabat sebagai pejabat senior rezim Khadafi.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Arabiya, Abdul Jalil menyatakan bahwa hari-hari Khadafi sebagai penguasa akan segera berakhir. "Kami sebagai rakyat Libya tentu peduli akan kestabilan dan ketentraman. Kami ingin melihat ekonomi tumbuh. Namun, satu hal yang saya ingin sampaikan kepada Khadafi, akan ada saatnya bagi kamu untuk menyerah," kata Abdul Jalil.
Saat Libya mulai bergolak dengan pemberontakan, Jibril pun membelot dari rezim Khadafi dan akhirnya dipercaya memimpin NTC. Dia juga berhasil bernegosiasi dengan sejumlah pemimpin Barat, diantaranya Presiden Nicolas Sarkozy dari Prancis dan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, untuk menggalang dukungan bagi NTC. Jibril pun mampu menggalang dukungan politik dari sejumlah negara Arab.
Saat jumpa pers di Qatar, 24 Agustus 2011, Jibril berharap Khadafi harus segera diadili bila ditangkap. Bagi dia, sudah banyak kejahatan yang diperbuat kolonel veteran itu kepada bangsa sendiri, dengan melancarkan pembunuhan politik, penahanan, dan hukuman mati bagi para oposan selama berkuasa.
"Kami akan memberi dia pengadilan yang adil. Namun saya tidak tahu bagaimana dia akan bisa membela diri dari berbagai tuduhan kejahatan yang dia lakukan atas rakyat Libya dan dunia," kata Jibril seperti dikutip CNN.
Selain Jibril, nama lain yang menonjol dalam tubuh NTC adalah Mustafa Abdul Jalil. Dia pun pernah menjadi bagian dari pemerintahan Khadafi, saat menjadi Menteri Kehakiman mulai dari 2007 hingga akhirnya membelot pada awal 2011.
Abdul Jalil dianggap punya pengaruh kuat dalam kepemimpinan NTC, yang berbasis di Benghazi, dengan mengklaim sebagai Ketua Dewan. Di sisi lain, masih ada pihak yang curiga dengan Abdul Jalil karena pernah bertahun-tahun menjabat sebagai pejabat senior rezim Khadafi.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Arabiya, Abdul Jalil menyatakan bahwa hari-hari Khadafi sebagai penguasa akan segera berakhir. "Kami sebagai rakyat Libya tentu peduli akan kestabilan dan ketentraman. Kami ingin melihat ekonomi tumbuh. Namun, satu hal yang saya ingin sampaikan kepada Khadafi, akan ada saatnya bagi kamu untuk menyerah," kata Abdul Jalil.
Tantangan NTC
Selain mereka berdua, juga ada sejumlah tokoh yang menonjol di NTC seperti pengacara HAM, Abdul Hafiz Ghoga, yang menjadi Juru Bicara Dewan, tokoh muda Fatih Turbel dan lain-lain. Mereka saat ini sama-sama yakin atas kejatuhan Khadafi dan bersuara keras agar dia dan putra-putranya segera diadili begitu ditangkap.
Masalahnya, rakyat Libya dan publik internasional belum melihat mereka secara solid memaparkan rencana apa yang akan dilakukan untuk segera menstabilkan dan mengendalikan keamanan di Libya pasca rezim Khadafi.
Masalahnya, rakyat Libya dan publik internasional belum melihat mereka secara solid memaparkan rencana apa yang akan dilakukan untuk segera menstabilkan dan mengendalikan keamanan di Libya pasca rezim Khadafi.
Situasi di Libya masih tidak menentu setelah berbulan-bulan mengalami perang saudara. Bahkan eksodus rakyat Libya ke luar negeri masih berlangsung karena tidak yakin akan masa depan keamanan mereka. Ini bisa membuat Libya bisa kacau bila pimpinan pemberontak tidak segera bertindak mengendalikan situasi.
NTC juga harus meyakinkan kembali masyarakat dan investor mancanegara, apakah negeri mereka yang kaya minyak dan gas itu bisa segera siap menerima investasi tanpa ada lagi gangguan keamanan. Selain itu, publik menunggu apakah pemberontak tidak akan mengulangi rezim otoriter Khadafi.
Menurut harian The Washington Post, para pemberontak itu sebenarnya terpecah-pecah tapi memiliki musuh yang sama, yaitu Khadafi. Antar pemimpin pemberontak pun tampak berkonflik. Konflik ini terlihat dengan simpang siurnya kasus pembunuhan atas Jenderal Abdul Fattah Younis, 28 Juli 2011.
Younis merupakan komandan pasukan pemberontak dan salah satu pemimpin NTC yang juga punya pengaruh besar. Dia dibunuh bersama dua perwira senior. Younis pernah menjadi bagian dari rezim Khadafi saat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Namun, Februari lalu dia mengundurkan diri dan membelot ke pihak pemberontak.
Sebelumnya muncul kecurigaan bahwa Younis masih menjalin kontak dengan rezim Khadafi. Namun, siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan Younis masih belum jelas kendati TNC mengumumkan bahwa pelakunya telah ditangkap.
"Ada bahaya perpecahan antarfaksi di tubuh pasukan pemberontak," kata wartawan Times of London, James Hider, yang memantau situasi di Benghazi, kepada CNN. "Kini terjadi kekosongan kepemimpinan di tubuh pasukan pemberontak. Kami belum yakin mengenai kejadian sesungguhnya," lanjut Hider.
Pengamat dari North Africa Risk Consulting, Geoff Porter, juga melihat gelagat belum solidnya kubu pemberontak. "Proses pengambilan keputusan di tubuh mereka tidak dapat diprediksi dan jauh dari transparan. Ini menunjukkan bahwa urusan dengan dewan ini bakal menemui rintangan, menantang, dan ganjil," kata Porter.
Padahal, NTC sudah mendapat pengakuan internasional dari banyak negara, termasuk AS. Para pendukung NTC berperan meyakinkan Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan zona larangan terbang sekaligus memberi mandat kepada NATO melancarkan pengeboman atas posisi-posisi militer Khadafi.
NTC pun mendapat dukungan dana yang besar dari sejumlah negara. Turki, misalnya, telah mengumumkan bantuan sebesar US$300 juta, termasuk pinjaman US$100 juta, bagi pemberontak untuk membangun sistem politik yang baru di Libya. AS, Inggris, dan Prancis pun bersiap menserahterimakan aset-aset Libya di negeri mereka kepada kepemimpinan transisi untuk segera memulihkan situasi di negara Afrika Utara itu
NTC juga harus meyakinkan kembali masyarakat dan investor mancanegara, apakah negeri mereka yang kaya minyak dan gas itu bisa segera siap menerima investasi tanpa ada lagi gangguan keamanan. Selain itu, publik menunggu apakah pemberontak tidak akan mengulangi rezim otoriter Khadafi.
Menurut harian The Washington Post, para pemberontak itu sebenarnya terpecah-pecah tapi memiliki musuh yang sama, yaitu Khadafi. Antar pemimpin pemberontak pun tampak berkonflik. Konflik ini terlihat dengan simpang siurnya kasus pembunuhan atas Jenderal Abdul Fattah Younis, 28 Juli 2011.
Younis merupakan komandan pasukan pemberontak dan salah satu pemimpin NTC yang juga punya pengaruh besar. Dia dibunuh bersama dua perwira senior. Younis pernah menjadi bagian dari rezim Khadafi saat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Namun, Februari lalu dia mengundurkan diri dan membelot ke pihak pemberontak.
Sebelumnya muncul kecurigaan bahwa Younis masih menjalin kontak dengan rezim Khadafi. Namun, siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan Younis masih belum jelas kendati TNC mengumumkan bahwa pelakunya telah ditangkap.
"Ada bahaya perpecahan antarfaksi di tubuh pasukan pemberontak," kata wartawan Times of London, James Hider, yang memantau situasi di Benghazi, kepada CNN. "Kini terjadi kekosongan kepemimpinan di tubuh pasukan pemberontak. Kami belum yakin mengenai kejadian sesungguhnya," lanjut Hider.
Pengamat dari North Africa Risk Consulting, Geoff Porter, juga melihat gelagat belum solidnya kubu pemberontak. "Proses pengambilan keputusan di tubuh mereka tidak dapat diprediksi dan jauh dari transparan. Ini menunjukkan bahwa urusan dengan dewan ini bakal menemui rintangan, menantang, dan ganjil," kata Porter.
Padahal, NTC sudah mendapat pengakuan internasional dari banyak negara, termasuk AS. Para pendukung NTC berperan meyakinkan Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan zona larangan terbang sekaligus memberi mandat kepada NATO melancarkan pengeboman atas posisi-posisi militer Khadafi.
NTC pun mendapat dukungan dana yang besar dari sejumlah negara. Turki, misalnya, telah mengumumkan bantuan sebesar US$300 juta, termasuk pinjaman US$100 juta, bagi pemberontak untuk membangun sistem politik yang baru di Libya. AS, Inggris, dan Prancis pun bersiap menserahterimakan aset-aset Libya di negeri mereka kepada kepemimpinan transisi untuk segera memulihkan situasi di negara Afrika Utara itu
0 komentar:
Posting Komentar