Minggu, 13 Februari 2011

SBY SERIUS TANGGAPI ANCAMAN FPI




Instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar aparat penegak hukum tidak segan-segan membubarkan organisasi masyarakat yang melanggar hukum berbuntut panjang.

Pada saat peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2011, Presiden SBY menyatakan, "Kepada kelompok yang terbukti melanggar hukum, melakukan kekerasan, dan meresahkan masyarakat, kepada para penegak hukum agar dicarikan jalan yang sah dan legal, untuk, jika perlu, membubarkan."
Menanggapi pernyataan SBY itu, Kepala Bidang Advokasi yang sekaligus juga Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI), Munarman, menegaskan bahwa akar permasalahan bukanlah karena keberadaan ormas melainkan sikap pemerintah terhadap jemaah Ahmadiyah yang melanggar undang-undang.

Munarman pun menegaskan jika isu pembubaran ormas terus dihembuskan Presiden, maka umat dan ormas Islam akan siap mem-Ben Ali-kan [Presiden Tunisa] Presiden. "Karena ternyata dia lebih memilih berada di pihak yang batil," tandasnya.
Menurut dia, insiden Cikeusik, Pandeglang, Banten, merupakan skenario Ahmadiyah untukmengkambinghitamkan organisasi massa.

Presiden SBY pun menanggapi serius ancaman tersebut. Dalam wawancara dengan stasiun televisi SCTV, Presiden SBY menegaskan, "Tidak semudah itu lantas Indonesia pasti akan menjadi [seperti] Mesir. Termasuk yang mengancam saya, awas Indonesia kita Mesirkan! Jangan ancam-mengancam lah. Dan kondisinya berbeda."
Partai Demokrat pun bereaksi keras. "Negara tidak akan tunduk pada ancaman. Silakan polisi mengambil langkah hukum, baik preventif ataupun represif," kata Wakil Sekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, saat dihubungi VIVAnews.com. "Kalau negara tunduk pada ormas, di mana wibawa negara?"

Anggota Komisi I DPR itu mengatakan, bila benar terbukti ada ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat seperti tindakan subversif atau makar, maka polisi tidak boleh ragu menegakkan hukum. "Saya harap polisi tidak ragu-ragu. Jika ada perlawanan, polisi bisa minta bantuan kepada TNI, baik sektor teritorial maupun intelijen," ujar Ramadhan.

Menurutnya, apabila ancaman itu dinyatakan di depan publik secara terbuka, maka polisi jelas tidak bisa tinggal diam. Pembantu-pembantu Presiden seperti Kapolri, Menkumham, dan Mendagri juga harus bertindak cepat. "Jangan lemah dan tunduk terhadap ancaman. Ini bukan soal politik, tapi soal keamanan masyarakat," tandas Ramadhan.

Ia menambahkan, pernyataan SBY tentang perlunya pembubaran ormas anarkis, sebetulnya tidak berarti ada ormas tertentu yang serta-merta akan dibubarkan. Ramadhan mengatakan, untuk kepentingan masyarakat, UU memang membolehkan pembubaran ormas yang terus-menerus memproduksi kekerasan dan menciptakan ketidakaturan serta instabilitas. "Tapi untuk sampai ke pembubaran, harus dikaji lebih dalam lagi," tuturnya.

Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan hal senada. Pernyataan Presiden soal kemungkinan pembubaran ormas yang melanggar hukum, hanya dilakukan untuk keadaan yang khusus bila fakta empiris telah tersedia.

"Tidak boleh ada ruang bagi kekerasan di negeri ini, baik itu dilakukan oleh organisasi atau individu.  Bila terdapat tindakan yang mengakibatkan munculnya disorder (kekacauan) dan kekerasan, maka di titik itulah pemerintah akan bertindak demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Tapi, tidak dengan serta-merta," jelas Julian.
Ia mengatakan, pembubaran ormas baru akan dilakukan apabila terdapat bukti dan fakta hukum yang telah diverifikasi bahwa ormas terkait memang melakukan tindakan yang melanggar hukum. "Bisa dihentikan atau dibubarkan, tapi harus ada alasannya."
Oleh karena itu, ia meminta ormas manapun untuk tidak merasa dikambinghitamkan dalam peristiwa kekerasan beruntun pekan lalu. "Presiden [dalam pernyataannya] tidak menunjuk pada satu organisasi, tapi siapapun dan apapun entitasnya," tegasnya lagi.

 *****

Mengenai pembubaran ormas, pemerintah sebenarnya sudah lama memiliki peraturan organik menjalankan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur pembekuan dan pembubaran organisasi massa.

Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa (Kesbang) Kementerian Dalam Negeri, Mayor Jenderal (purnawirawan) Tanri Bali Lamo, menjelaskan kepada VIVAnews, bahwa ada PP Nomor 18 Tahun 1986 untuk menjalankan UU Ormas.

Tanri mengatakan, ormas-ormas itu memang dibina pemerintah. Ormas tingkat nasional dibina oleh Menteri Dalam Negeri, tingkat provinsi oleh Gubernur, kota  oleh Walikota dan kabupaten oleh Bupati. "Kalau ormas mengganggu ketertiban umum, suku, ras, dan sebagainya memang dapat dibubarkan," katanya.

Aturan itu terdapat dalam pasal 18 PP tersebut. Namun, pembekuan atau pembubaran tidak bisa serta merta dilakukan. Tahap pertama, jika terjadi syarat untuk pembekuan atau pembubaran, Pemerintah mengeluarkan teguran dulu yang berlaku sampai 10 hari.

"Kalau masih tidak memperbaiki diri, nanti diberi teguran kedua yang juga 10 hari berlaku," katanya. "Kalau tidak berubah juga, dibekukan,"
Pembekuan itu didasarkan saran dari pihak terkait. Untuk Mendagri, minta pendapat Mahkamah Agung

0 komentar:

Posting Komentar