KAIRO - Presiden Mesir Hosni Mubarak akhirnya mengundurkan diri sebagai ketua Partai Demokrat Nasional yang berkuasa di negeri itu, tapi tidak dari kursi kepresidenan. Demikian laporan CNN mengutip TV pemerintah setempat.
Mubarak mundur sebagai Ketua Partai Demokratik Nasional, partai yang berkuasa. Langkah Mubarak diikuti enam orang lainnya, termasuk putra Mubarak, Gamal Mubarak.
Sementara itu sebelumnya para pemimpin oposisi dan kaum intelektual bertemu dengan Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman hari Sabtu (5/2/11) waktu setempat, mendiskusikan cara yang mudah mengurangi kekuasaan Presiden Hosni Mubarak, yang merupakan tuntutan utama puluhan ribu pengunjuk rasa.
Di antara pemimpin yang mundur adalah Sekjen Safwat El Sherif, 77, yang telah berkuasa dalam kemapanan Mesir sejak 1960 dan merupakan pilar dari tokoh-tokoh lama. Sherif tak lagi sebagai ketua parlemen.
Sedangkan Gamal Mubarak yang tak memiliki posisi dalam kepemimpinan, tak memenuhi syarat sebagai calon presiden partai berdasarkan konstitusi yang ada.
Presiden Mubarak sendiri memegang posisi presiden NDP dan televisi negara tidak menyebutkan itu berubah. Nama-nama lain dalam kepemimpinan inti partai itu ialah Zakaria Azmi, kepala staf Mubarak, juru bicara NDP Ali el—din Hilal dan Ahmed Ezz, yang sudah mundur beberapa hari setelah pergolakan pecah melawan Mubarak. Partai itu merupakan salah satu target utama aksi unjuk rasa dan markas besarnya dekat Bunderan Tahrir dibakar selama unjuk rasa. (CNN/KSP)
KISAH 3 MAHASISWA 30 MENIT DI TODONG SENJATA MILITER MESIR
Hampir satu kompi militer Mesir bersenjata laras panjang, plus bayonetnya, mengepung sebuah apartemen di distrik Toub Romly, Mesir. Sekitar 20 orang mahasiswa Indonesia di lantai satu apartemen tersebut kaget dengan kedatangan mereka.
Peristiwa mencekam itu terjadi pukul 12.00 waktu Mesir. Kira-kira pukul 17.00 Wib di Indonesia. "Dalam keadaan seperti ini, kami bisa tangkap siapa saja," ujar komandan tentara menghardik, seperti ditirukan Asif Fudholi, seorang mahasiswa Indonesia di apartemen tersebut.
Bagi Asif, Mesir adalah tujuannya menuntut ilmu. Ia sama sekali tak membayangkan, hidup di negeri orang, tiba-tiba ditodong senjara oleh militer setempat. Bukan satu orang, melainkan puluhan tentara. Itu dirasakan Asif sejak keluar apartemen sampai masuk mobil militer.
"Di dalam mobil militer itu kami dipojokkan di sudut mobil. Sambil tentara-tentara itu menodongkan senjatanya sepanjang perjalanan menuju markas. Tepatnya Ma'had Harb Elektronia," kata Asif.
Dua rekan Asif, Bisyri Ikhwan dan Gofur ketakutan. Keduanya sama sekali tak berkutik, diam menghadapi keadaan yang ada. Asif mengakui, dirinya diambil oleh tentara karena dalam penyergapan itu, yang paling berani bicara. Itulah mengapa Asif ikut dibawa, bersama Bisyri dan Gofur.
Di mobil militer, ketiganya tak berkutik. "Selama perjalanan mereka menodongkan senjata. Tanpa ada pembicaraan. Hanya satu yang mereka katakan. Menyuruh kami tidak banyak bergerak," kata Asif mengingat perintah keras dari tentara yang membawanya.
Alasan lain dirinya diciduk, lebih karena Asif mahir bahasa awam rakyat Mesir kebanyakan. Sementara teman-teman dan mahasiswa lain, masih baru, di samping belum lancara bahasa pergaulan orang Mesir. Perjalanan dari apartemen ke markas militer sekitar 30 menit.
Asif, dan dua rekannya sangat ketakutan. Setelah hampit tiga puluh menit ditodong banyak pertanyaan, kendati tidak lagi di bawah todongan senjata. Asif tak tahu apa pikiran teman-temannya yang masih tinggal di apartemen.
"Hanya kami bertiga yang ditangkap dan dibawa ke markas tentar itu. Tidak ada mahasiswa yang ditangkap dari apartemen lain. Selain kita bertiga, mereka tetap ditahan dan dijaga di apartemen oleh tentara," katanya lagi.
"Setelah pulang dari markas banyak, teman-teman yang menanyakan keadaanku. Teman-teman langsung menelpon KBRI di Kairo, tapi enggak ada kabar dari sana," ceritanya lagi. "Tapi kelanjutannya saya tidak tahu kabarnya lagi."
Menurut Asif, warga negara Indonesia di distrik ini berjumlah sekitar 50 sampai 70 orang. Proses evakuasi katanya masih berjalan dan mendahulukan yang perempuan dan anak-anak. "Untuk para lelaki belum ada kepastian kapan kita dievakuasi," katanya.
Sementara daerah sekitar Toub Romly, jumlah warga negara Indonesia lebih banyak yang belum dievakuasi. Asif, dan warga negara Indonesia lainnya hanya punya satu harapan sekarang. Pemerintah Indonesia cekatan mengevakuasi warganya. Mengingat turun atau tidak turunnya Mubarak, perang saudara bakal terjadi.
"Kita meminta pemerintah mengirimkan pesawat untuk evakuasi. Biar teman-teman cepat sampai tanah air dan cepat merasa aman. Mubarak turun ataupun tidak, keadaan akan semakin genting. Jika Mubarak tak mau turun, prediksinya perang saudara terjadi," katanya. (*)
Peristiwa mencekam itu terjadi pukul 12.00 waktu Mesir. Kira-kira pukul 17.00 Wib di Indonesia. "Dalam keadaan seperti ini, kami bisa tangkap siapa saja," ujar komandan tentara menghardik, seperti ditirukan Asif Fudholi, seorang mahasiswa Indonesia di apartemen tersebut.
Bagi Asif, Mesir adalah tujuannya menuntut ilmu. Ia sama sekali tak membayangkan, hidup di negeri orang, tiba-tiba ditodong senjara oleh militer setempat. Bukan satu orang, melainkan puluhan tentara. Itu dirasakan Asif sejak keluar apartemen sampai masuk mobil militer.
"Di dalam mobil militer itu kami dipojokkan di sudut mobil. Sambil tentara-tentara itu menodongkan senjatanya sepanjang perjalanan menuju markas. Tepatnya Ma'had Harb Elektronia," kata Asif.
Dua rekan Asif, Bisyri Ikhwan dan Gofur ketakutan. Keduanya sama sekali tak berkutik, diam menghadapi keadaan yang ada. Asif mengakui, dirinya diambil oleh tentara karena dalam penyergapan itu, yang paling berani bicara. Itulah mengapa Asif ikut dibawa, bersama Bisyri dan Gofur.
Di mobil militer, ketiganya tak berkutik. "Selama perjalanan mereka menodongkan senjata. Tanpa ada pembicaraan. Hanya satu yang mereka katakan. Menyuruh kami tidak banyak bergerak," kata Asif mengingat perintah keras dari tentara yang membawanya.
Alasan lain dirinya diciduk, lebih karena Asif mahir bahasa awam rakyat Mesir kebanyakan. Sementara teman-teman dan mahasiswa lain, masih baru, di samping belum lancara bahasa pergaulan orang Mesir. Perjalanan dari apartemen ke markas militer sekitar 30 menit.
Asif, dan dua rekannya sangat ketakutan. Setelah hampit tiga puluh menit ditodong banyak pertanyaan, kendati tidak lagi di bawah todongan senjata. Asif tak tahu apa pikiran teman-temannya yang masih tinggal di apartemen.
"Hanya kami bertiga yang ditangkap dan dibawa ke markas tentar itu. Tidak ada mahasiswa yang ditangkap dari apartemen lain. Selain kita bertiga, mereka tetap ditahan dan dijaga di apartemen oleh tentara," katanya lagi.
"Setelah pulang dari markas banyak, teman-teman yang menanyakan keadaanku. Teman-teman langsung menelpon KBRI di Kairo, tapi enggak ada kabar dari sana," ceritanya lagi. "Tapi kelanjutannya saya tidak tahu kabarnya lagi."
Menurut Asif, warga negara Indonesia di distrik ini berjumlah sekitar 50 sampai 70 orang. Proses evakuasi katanya masih berjalan dan mendahulukan yang perempuan dan anak-anak. "Untuk para lelaki belum ada kepastian kapan kita dievakuasi," katanya.
Sementara daerah sekitar Toub Romly, jumlah warga negara Indonesia lebih banyak yang belum dievakuasi. Asif, dan warga negara Indonesia lainnya hanya punya satu harapan sekarang. Pemerintah Indonesia cekatan mengevakuasi warganya. Mengingat turun atau tidak turunnya Mubarak, perang saudara bakal terjadi.
"Kita meminta pemerintah mengirimkan pesawat untuk evakuasi. Biar teman-teman cepat sampai tanah air dan cepat merasa aman. Mubarak turun ataupun tidak, keadaan akan semakin genting. Jika Mubarak tak mau turun, prediksinya perang saudara terjadi," katanya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar