Pemberitaan mengenai korban 'cuci otak' yang diduga dilakukan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) di Malang, Jawa Timur, membuat khawatir masyarakat. Bahkan, Sultan Hamengkubuwono X meminta masyarakat Yogyakarta untuk waspada. Kota pelajar diyakini jadi target sasaran.
Kepada VIVAnews.com, mantan pengikut NII sekaligus pendiri situs NII Crisis Centre, Ken Setiawan, menceritakan pengalamannya selama dua tahun bergabung di kelompok ini.
"Metode perekrutan mereka mulai dari pertemanan, lewat teman-teman dekat. NII punya identifikasi koban, siapa dia, apakah anak orang kaya, sudah diincar," kata Ken saat dihubungi Jumat 22 April 2011.
Namun, bukan berarti mereka hanya mengincar anak orang kaya. "Semua berpotensi jadi korban, meski tidak kaya, mereka kan bisa menipu teman-temannya, juga orangtua," tambah dia.
Ditambahkan dia, semua orang di luar mereka dianggap kafir, halal harta dan darah. Termasuk orangtua. "Orangtua dianggap kafir jika tak sepaham, tapi hartanya halal, istilahnya kita selamatkan."
Selama aktif di NII, Ken mengaku awalnya yakin menjadi bagian dari sebuah perjuangan mulia, demi agama. Ia pun rela memberikan uang demi membangun ibu kota sentral NII.
Hingga sanggup berbuat kriminal demi setoran dana. "Saya tidak meminta orangtua, tapi menghasilkan, caranya, jadi koordinasi perampokan pembantu tahun 2000-2002," kata dia.
Dijelaskan Ken, kala itu ia mengatur pengikut NII perempuan menyamar sebagai pembantu. "Kami beli semua media, koran, mencari lowongan kerja. Buat KTP palsu, teman-teman menyamar sebagai pembantu. Saat majikan pergi kita curi hartanya, karena jumlahnya banyak kesannya jadi seperti merampok," tambah dia.
Namun, modus aksi kriminal yang dilakukan zaman dahulu kini telah ditinggalkan karena dianggap berbahaya. "Mereka mengubahnya, jadi pendanaan melalui yayasan," kata Ken. Dijelaskan dia, modus terbaru NII adalah dengan menurunkan sekitar 10.000 pengikut menghimpun dana sumbangan di sejumlah titik sarana umum di wilayah Jabodetabek.
Terkait kasus Malang, di mana sejumlah mahasiswa Universitas Muhamadiyah Malang (UMM) dan Universitas Brawijaya (Unibraw) jadi korban 'CUCI OTAK' atau diculik NII, Ken menilai, bukan itu yang terjadi.
"Bukan diculik, saat bergabung di NII mereka diwajibkan memiliki disiplin tinggi, harus menyelesaikan tugas-tugas. Kerja mereka tak hanya 12 jam, tapi 24 jam. Makanya yang kuliah pasti drop out, yang kerja ke luar, yang tinggal bersama orangtua, minggat," kata dia. Tapi untuk ke luar, juga tak semudah itu.
Ia juga menilai para mahasiswa itu tak dicuci otak. "Awalnya memang tertekan, tapi karena tak ada pencerahan, dilarang komunikasi, mereka akhirnya terbiasa, bahkan menikmati."
Bagi mereka yang tak berani berontak, akan ikut arus. Tapi, banyak juga yang depresi. "Satu pihak merasa NII benar, tapi di lain sisi, kok aneh?"
Namun, Ken mengakui, tak semua hal di NII negatif. "Di sana kami belajar pendewasaan, mandiri. Karena banyak kegiatan dan tiap jam ditelepon ditanya berapa uang yang terkumpul, setelah keluar rasanya ringan, hidup jadi enteng tanpa beban," tambah dia.
Ken bahkan mengaku ikut menangani dua mahasiswa yang sempat direkrut NII. "Yang bermain semua jaringan Jakarta, kami sempat menangani dua dari mereka, karena orangtua tidak tegas, susah, mereka kembali lagi."
Berangkat dari keprihatinan dan pengalaman buruknya, Ken mendirikan NII Crisis Centre pada 2006, "Kami ingin memberikan kesaksian, pengalaman, agar orang waspada, jangan terjebak seperti kami," kata dia.
Ia juga minta pemerintah melalui Departemen Agama, juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuka mata. "Ini sudah akut." Selain memuat tulisan tentang NII di situsnya itu, Ken juga menyediakan diri untuk melayani konsultasi orang atau keluarga yang merasa jadi korban. "Silakan publish nomor saya ini, 08985151228." Apa tidak takut diteror? "Bagi kami itu sudah biasa. Dulu waktu bergabung, telepon genggam kami berbunyi tiap jam.
0 komentar:
Posting Komentar