Selasa, 28 Desember 2010
MEDIA INGGRIS DAN PERANCIS BAHAS PERPINDAHAN IBU KOTA JAKARTA
Wacana perpindahan ibu kota Indonesia, Jakarta, didiskusikan oleh media terkemuka di Prancis dan Inggris, masing-masing Le Monde dan The Guardian, Selasa (28/12/2010).
The Guardian menerbitkan ulang publikasi di Le Monde. Disebutkan, Jakarta sekarang sudah sangat tercemar, dan kelebihan penduduknya membuat orang-orang berpikir sudah mencapai titik jenuh.
Sejumlah orang menilai, Jakarta sebagai lawan mutlak dari pembangunan yang harmonis, sebuah karikatur dari kota metropolis dengan segala penyakit kehidupan perkotaan di negara-negara berkembang.
Inilah, katanya, kota terbesar sejagat yang tak punya sistem transportasi bawah tanah. Sekitar 9,6 juta orang tinggal di kota ini, tetapi pada siang hari meningkat tiga kali lipat dengan masuknya 3 juta orang dari pinggiran kota.
Pergerakan lalu lintas rata-rata hanya 13 km per jam, dan menurut beberapa statistik, orang-orang dapat menghabiskan waktu tiga atau empat jam sehari dalam kemacetan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengusulkan satu-satunya solusi adalah memindahkan ibu kota ke tempat lain, gagasan yang pertama kali disodorkan oleh Presiden Sukarno (ia sendiri menolak ejaan "Soekarno" guna menggusur pengaruh ejaan Belanda).
Kini, SBY mengulang lagi gagasan itu dengan memindahkan kantor kepresidenan, layanan publik, pemerintahan, parlemen dan seluruh instansi ke tempat baru sejauh sekitar 1.000 Km di Kalimantan.
Namun, mengutip Velix Wanggai, staf khusus Presiden SBY soal pembangunan daerah, Le Monde menyebutkan, gagasan besar yang membutuhkan satu generasi untuk mewujudkannya itu, hanya salah satu pilihan.
SBY meminta Velix Wanggai dan timnya untuk mempertimbangkan tiga kemungkinan menyelamatkan Jakarta. Pertama, pemerintah bertahan dan mengatasi urbanisasi yang tak terkendali.
Pilihan kedua, hanya pemerintah pusat yang akan dipindahkan, entah ke Jawa atau Kalimantan. Jakarta akan tetap menhadi pusat bisnis dan ibu kota administratif.
Pilihan ketiga adalah yang paling radikal, memindahkan total ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang sebagian besar masih berhutan. Wanggai semabri tersenyum menyebutkan, ia dan bosnya, SBY, lebih menyukai skenario ketiga.
Selain mengutip Wanggai, Le Monde juga mewawancarai Sonny Keraf, professor filsafat dan bekas Menteri Lingkungan Hidup semasa Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001).
Dikutip pula pendapat Andrinof Chaniago, pengamat politik dan sosial dari Universitas Indonesia dan pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya. Pendapat mereka sudah banyak dikutip media dalam negeri, termasuk KOMPAS.com.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar