Jumat, 17 Desember 2010

Indonesia volcano burns whole villages 250 death

A surge of searing gas raced down the sides of Mount Merapi on Friday, smothering entire villages as it killed or seriously burned those caght in its path. The death toll after the volcano’s largest eruption in a century soared to 250
The worst hit village of Bronggang lay nine miles (15 kilometers) from the fiery crater, just on the perimeter of the government-delineated “danger zone.” Crumpled roofs, charred carcasses of cattle and bron chairs – all layered in white ash and soot – dotted the smoldering landscape.
The zone has since been expanded to a ring 12 miles (20 kilometers) from the peak, bringing it to the edge of the ancient royal capital of Yogyakarta, which has been put on its highest alert.
Sri Sucirathasri said her family had stayed in their Bronggang home Thursday night because they hadn’t been told to leave.
They awoke in the dark as the mountain let out thunderous claps and tried desperately to outrun the flows, which reached speeds of 60 mph (100 kph), on a motorbike. Her mother, father and 12-year-old sister, Prisca, left first, but with gray ash blocking out any light, they mistakenly drove into – rather than away from – the volcano’s dangerous discharge.
The 18-year-old Sri went looking for them when she heard her mother’s screams, leaving at home an older sister, who died when the house became engulfed in flames.
“It was a safe place. There were no signs to evacuate,” said Sri, a vacant gaze fixed on Prisca, whose neck and face are burned a shiny ebony, her features nearly melted away.
Their mother is still missing. Their father, whose feet and ankles are burned, is being treated in another ward.
“I don’t know what to say,” she whispers when asked if she blames officials for not warning the family. “Angry at who? I’m just sad. And very sick.”
Merapi’s latest round of eruptions began Oct. 26, followed by more than a dozen other powerful blasts and thousands of tremors.
With each new eruption, scientists and officials have steadily pushed the villagers who live along Merapi’s fertile slopes farther from the crater. But after initially predicting earlier eruptions would ease pressure under the magma dome, experts who have spent a lifetime studying the volcano now say the don’t know what to expect.
Scientists can study the patterns of volcanoes, but their eruptions are essentially unpredictable, as Merapi’s increasingly intense blasts have proved.
On Friday, the towering plumes of ash rained dust on windshields of cars 300 miles (480 kilometers) away, although a rain near the mountain in the afternoon turned much of it to sludge. Bursts of hot clouds occasionally interrupted aid efforts, with rescuers screaming, “Watch out! Hot cloud!”
The eruption released 1,765 million cubic feet (50 million cubic meters) of volcanic material, making it “the biggest in at least a century,” said state volcanologist Gede Swantika as plumes of smoke continued to shoot up more than 30,000 feet (10,000 meters).
Soldiers pulled at least 78 bodies from homes and streets blanketed by ash up to a foot (30 centimeters) deep Friday, raising the overall toll to 250, according to the National Disaster Management Agency.
With bodies found in front of houses and in streets, it appeared that many of the villagers died from the blistering gas while trying to escape, said Col. Tjiptono, a deputy police chief.
“The heat surrounded us and there was white smoke everywhere,” said Niti Raharjo, 47, who was thrown from his motorbike along with his 19-year-old son while trying to flee.
There was an explosion … and it got worse, the ash and debris raining down,” he said from a hospital.
The living – with clothes, blankets and even mattresses fused to their skin by the 1,400-degree Fahrenheit (750-degree Celsius) heat – were carried away on stretchers following the first big explosion just before midnight.
More than 150 injured people – with burns, respiratory problems, broken bones and cuts – waited to be treated at the tiny Sardjito hospital, where the bodies piled up in its morgue, and two other hospitals.
Despite being at the foot of Indonesia’s deadliest volcano, Yogyakarta has only one burn unit – at Sardjito. The facility is limited to 10 beds, though, and so turns away any patient without facial burns or whose body is burned less than 40 percent, according to Sigit Priohutomo, a senior official at Sardjito.
We’re totally overwhelmed here!” hospital spokesman Heru Nogroho said.
More than 100,000 people living on the mountain have been evacuated to crowded emergency shelters, many by force, in the last week. Some return to their villages during lulls in activity, however, to tend to their livestock.
They were told to stay away Friday. The government also announced an $11 million program to buy the cows on the mountain to keep farmers off its slopes, and to provide compensation for animals lost in the eruptions.
Indonesia, a vast archipelago of 235 million people, is prone to earthquakes and volcanoes because it sits along the Pacific “Ring of Fire,” a horseshoe-shaped string of faults that lines the Pacific Ocean.
While Friday’s explosion was the largest in volume in a century, an eruption at Merapi in 1930 killed many more – 1,300.
Even that toll pales in comparison to other volcanoes in the region: Indonesia’s Krakatoa killed at least 36,000 people in 1883, in an eruption that could be heard 2,000 miles (3,200 kilometers) away and blackened skies region-wide for months.
When the Philippines’ Mount Pinatubo exploded in 1991 after a 500-year slumber, about 800 people died as the billions of tons of volcanic debris poured from the cone, erasing entire farm communities and altering the world’s climate.
The May 1980 eruption of Mount St. Helens caused the volcano’s north flank to collapse, triggering the largest landslide ever recorded. The blast killed 57 people, flattened 230 square miles (596 square kilometers) of forests and blew 1,300 feet (400 meters) off the peak

MERAPI VULCANO BEFORE BURN


AFTER BURN








250 people death



Ini Dia 11 Pria Penghalang Indonesia ke Final



Dari sebelas pemain, delapan pemain naturalisasi yang pernah merumput di Eropa.

Filipina tampil mengejutkan dalam laga kompetisi sepakbola paling bergengsi se Asia Tenggara, Piala AFF Suzuki 2010. The Azkals - julukan timnas Filipina- berhasil mengalahkan juara bertahan Vietnam dan menahan seri Singapura. Untuk pertama kali sejak Piala AFF digelar, Filipina masuk semifinal.
Timnas asuhan pelatih muda SImon McMenemy ini berhasil lolos ke babak empat besar setelah menjadi Runner Up Grup B. Suatu prestasi membanggakan buat Filipina yang sebelumnya tidak diunggulkan untuk lolos dari Grup B bersama Vietnam, Singapura, dan Myanmar.

Namun Filipina yang sekarang berbeda dengan Filipina yang dikalahkan Indonesia 13-1 di Piala AFF 2002 lalu. The Azkals yang sekarang mendapat banyak suntikan pemain-pemain asing yang dinaturalisasi oleh Filipina.

Kombinasi pemain asing dan lokal ini akhirnya bertemu Indonesia di semifinal pertama Kamis 16 Desember 2010. Tidak disangka, Phil Younghusband dan kawan-kawan tidak tertekan dengan raung dukungan 80 ribu suporter Indonesia yang memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Prediksi awal, Filipina akan sulit berkembang. Sama dengan lawan-lawan Indonesia di penyisihan Grup A sebelumnya. Sebelas pemain Filipina seakan 'kebal' pada rongrongan 80 ribu suporter Merah Putih. Pengalaman bertanding di laga internasional tampaknya membuat para pemain tidak demam panggung. Siapa saja mereka dan apa pengalaman sebelas pemain Filipina ini. Berikut gambaran singkat untuk mengetahui profil mereka.

1.Kiper Neil Leonard Dula
Bernama lengkap Neil Leonard Dula Etheridge, kiper muda kelahiran 7 Februari 1990 ini memiliki darah Inggris-Filipia. Etheridge yang sempat berposisi sebagai striker sudah bergabung dengan klub lokal di London sejak usia sembilan tahun.

Bahkan di tahun 2003, pemain bertinggi 191 cm ini bergabung di Akademi Chelsea. Di sinilah dia bertemu dengan kakak-beradik James dan Phil Younghusband yang akhirnya juga membela Filipina.
Kiper tim nasional Filipina, Neil Etheridge (kiri)
Lima tahun kemudian Etheridge bergabung dengan Fulham sebelum dipinjamkan ke Leatherhead. Namun setahun sebelumnya, tepat di tahun 2007, Etheridge sempat menolak pinangan Federasi Sepakbola Filipina (PFF) untuk membela negara kelahiran ibunya. Sesudah mematangkan berbagai pertimbangn, mantan striker ini pun akhirnya membela The Azkals.

2. Robert James Dazo Gier
Sama seperti Etheridge, Gier pun memiliki darah campuran Inggris-Filipina. Dalam kurun waktu 2000-2009, pria 30 tahun ini sudah tujuh kali berganti klub di Inggris. Penampilan terbanyaknya dicatat bersama Rushden & Diamonds dengan 67 kali kali merumput.
Robert James Dazo Gier

Gier dipanggil membela The Azkals pertama kali di tahun 2009 untuk Kualifikasi Piala AFF 2010. Debut pemain bertinggi 178 cm ini bersama Filipina tercatat pada 14 April 2009 melawan Bhutan.

3.Anton Edward
Dengan nama lengkap Anton Edward Quimson del Rosario, pemain ini lahir 28 tahun lalu di San Fransisco, California, Amerika Serikat. Del Rosario merupakan pemain campuran AS-Filipina yang menghabiskan beberapa tahun di masa mudanya di Filipina.
Anton Edward

Kecintaannya pada sepakbola dan Filipina membuat namanya masuk timnas sejak tahun 2000. Sayangnya debut Edward baru terjadi empat tahun kemudian saat melawan Myanmar. Sebagai bek kanan, del Rosario baru mencetak gol pertamanya di tahun 2007 lewat tendangan bebas dari jarak 30 yard saat melawan Brunei Darusalam.

4. Roel Jimena Gener
Gener merupakan pemain yang membela angkatan bersenjata Filipina dan merupakan salah satu yang tertua di kompetisi AFF 2010. Usia Gener sudah masuk 36 tahun dan kemungkinan ini adalah kompetisi internasional terakhirnya bersama The Azkals.
Roel Jimena Gener
5.Jason Nicolas Mari Dantes de Jong
De Jong merupakan pemain yang menghabiskan karir profesionalnya bersama klub asal Belgia dan Belanda. Klub yang saat ini dibelanya, Veendam, mendatangkan de Jong dari klub Divisi Dua Belgia, Turnhout.

Dengan darah campuran Belanda-Filipina, de Jong sebenarnya ditawari membela Belanda U-19. Namun gelandang 20 tahun ini menolak dan memilih Filipina sebagai negara yang dibelanya. Uniknya, de Jong bukan cuma membela timnas sepakbola, tapi juga tim futsal Filipina.

6.James Younghusband
Inilah kakak dari striker Phil Younghusband. Keduanya hanya berbeda setahun, dengan James yang lebih tua. James Joseph Placer Younghusband merupakan gelandang keturunan Inggris-Filipina.
Hamka Hamsah berebut bola dengan pemain Filipina James 
Younghusband

Dari semua pemain The Azkals, Younghusband bersaudara merupakan yang paling pengalaman di sepakbola Eropa. James sudah menerima beasiswa dari Chelsea di usia 10 tahun. Namanya bahkan tampil di beberapa pertandingan tim junior The Blues.

Namun ketika promosi ke tim senior pada tahun 2005, James tidak pernah turun dalam satu pertandingan pun. Sesudah itu dia berpindah-pinda ke Wimbledon, Staines Town, Woking, dan Farnborough.

7.Nestorio Junior Braga Margarese
Margarese merupakan pemain yang hampir sama uzurnya dengan Gener. Usianya sudah masuk 34 tahun dan membela angkatan bersenjata Filipina. Dengan tinggi 168 cm dan berat 54 kg, Margarese merupakan gelandang ideal yang cukup merepotkan.

Timnas Filipina rayakan kemenangan
8.Ian Bayona Araneta
Araneta merupakan saksi hidup ketika Filipina dipermalukan Indonesia 13-1 di Piala AFF 2002. Saat itu striker yang bisa turun jadi gelandang ini masih berusia 20 tahun. Araneta masuk sebagai pemain pengganti saat kedudukan 9-0 untuk tim Merah Putih.
Ian Beyona Araneta

Sebelum leg pertama berlangsung Kamis kemarin, Araneta sudah menegaskan niatnya membalas dendam pada Indonesia.

9.Ray Anthony Pepito Jonsson
Bek kiri berusia 31 tahun itu merupakan pemain berdarah campuran Filipina-Islandia. Jonsson bahkan sempat memperkuat tim U-21 Islandia pada 2001, namun tak mendapat panggilan di timnas senior negara tersebut.

Jonsson pun tak mau menyia-nyiakan tawaran Federasi Sepakbola Filipina (PFF). Pemain yang berlaga bersama Völsungur itu setuju untuk memperkuat Filipina melewati kualifikasi Piala AFF 2010.
Ray Anthony Pepito Jonsson

Debut di Timnas Filipina pemain Grindavik, klub Premier League Islandia ini terjadi saat menghadapi Macau pada 12 Oktober 2010. Dalam pertandingan itu, Jonsson sukses mengawal pertahanan Filipina tak kebobolan dan menang 5-0.
    
10.Christopher Greatwich
Bernama lengkap Christopher Robert Barbon "Chris" Greatwich, pemain ini memiliki darah campuran Inggris-Filipina. Greatwich pernah merasakan sukses di Inggris saat membela Brighton and Hove Albion dengan lolos ke Final Piala FA Youth Cup di tahun 2002.

Bukan cuma dia yang mewakili marga Greatwich di timnas Filipina. Sebab ada dua saudara kandungnya Philip dan Simon Greatwich yang juga masuk skuad The Azkals. Sayangnya, hanya Chris yang dipanggil untuk Piala AFF 2010.
Christhoper

Chris juga mencatat keunikan sendiri karena jadi pemain aktif yang berstatus pelatih. Ya, Chris merupakan arsitek tim muda Morris County Colonials U20 di New jersey, Amerika Serikat.

11.Philip Younghusband
Saudara laki-laki dari James Younghusband ini bernama lengkap Philip James Placer "Phil" Younghusband. James dan Phil menjadi fenomena ketika berhadapan dengan Indonesia di leg pertama Kamis lalu.
Pemain Filipina Philip Younghusband berusaha melewati pertahanan 
Indonesia
Bukan cuma karena permainan impresif mereka tapi juga karena kesempurnaan fisik keduanya. Tampan dan atletis, membuat kedua kakak beradik ini tak hentinya dielukan para penonton wanita.

VIDEO GOL-GOL INDAH PIAKA AFF 2010


Beberapa gol indah diciptakan pemain timnas Indonesia, Firman Utina dan Irfan Bachdim.
Piala Asian Federation Football 2010 telah memasuki babak semifinal.


Sejak digelar awal Desember, pertandingan bukan saja diwarnai oleh gemuruh puluhan ribu penonton, melainkan juga terciptanya gol-gol indah para bintang bola di kawasan Asia Tenggara.

Gol-gol mengesankan tersebut dihasilkan oleh pemain Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Beberapa di antaranya adalah gol pemain timnas Indonesia, Firman Utina dan dua gol Irfan Bachdim saat melawan Laos pada 4 Desember.

Gol-gol memukau lainnya diciptakan oleh pemain Thailand Sarayott Chaikumdee saat bertanding lawan Laos 1 Desember. Juga gol pemain Malaysia Norshahrul Idlan bin Talaha dan gol Irfan Bachdim saat Malaysia berlaga lawan Indonesia pada 1 Desember.

Tendangan indah menembus gawang lawan juga dilakukan oleh pemain Vietnam Nguyen Minh Phuong dan Nguyen Trong Hoang saat melawan Myanmar pada 2 Desember.